Minggu, 15 November 2015

Ku Simpan Cantikku

Wanita mana yang tak ingin terlihat cantik dimata orang lain terutama dimata laki-laki, apalagi jika kecantikannya diakui dengan banyak pujian dari laki-laki. Sebagai wanita itu adalah hal yang wajar dan amat sangat wajar karena itu salah satu naluri wanita. Saya pun pernah mersakannya, merasakan betapa senangnya ketika kecantikan yang saya miliki dipuji oleh laki-laki. Dan itu membuat saya hampir setiap hari memasang foto saya di semua akun sosial saya.

Namun, sekarang itu sudah tidak saya lakukan. Saya mulai merasa malu ketika saya menujukkan foto saya di depan publik, mungkin karena dulu saya pernah merasakan tidak enaknya dijauhi laki-laki karena melihat saya yang tidak terlalu cantik dan masih kekanak-kanakan. Awalnya itu yang membuat saya menjadi malas untuk mengupload foto saya ke media sosial tapi sejak mengetahui hakikat atas kecantikan yang sebenarnya saya menjadi risih ketika ada orang yang menyukai foto saya terlebih itu laki-laki yang tak jarang ikut memberikan komentar tentang foto yang saya upload.

Ditambah, kakak laki-laki saya yang termasuk protektif kepada adik-adiknya. Dia tidak ingin adik-adiknya menjadi fitnah terbesar dari makhluk bernama laki-laki dengan menengur ketika adik perempuan saya sempat memajang foto aslinya di media sosial.

Memang tak dapat dipungkiri ketika melihat banyak perempuan yang menujukkan fotonya di media sosial, ingin rasanya ikut. Namun, saya ingat bahwa kecantikan wanita itu tidak untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai melainkan untuk disimpan agar saat dimintai pertanggung jawaban hal itu akan menjadi pemberat amal kebaikkan.

Sungguh, setiap wanita cantik dengan kecantikkannya masing-masing dan Allaah akan sangat menyukai hambaNya yang mampu menjaga kecantikan itu dengan sebaik-baiknya bukan untuk dimanfa'atkan sebagai bahan menarik perhatian laki-laki namun sebagai sarana untuk bisa semakin mendekat pada Illahi Rabbi. 

Terima kasih untuk kecantikan yang Engkau berikan kepada kami (para wanita) yang ada di dunia. ^_^

Wallaahu'alam bishawab.

Sabtu, 17 Oktober 2015

Wahai Cinta

"Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Begitu pentingnya menjaga hati dari segala sesuatu yang dapat merusaknya dan yang sangat sering kita jumpai hal yang berkaitan dengan hati adalah masalah cinta, ya cinta.

Ketika seseorang telah merasakan cinta dalam hatinya, pasti mereka akan dengan bangga mengatakan bahwa mereka sedang jatuh cinta entah kepada siapa. Sedangkan hakikat mencintai yang sesungguhnya adalah memasrahkan cinta itu kepada Pemilik Sejatinya yaitu Allaah Ta'ala.

Bukan berarti kita tidak boleh mencintai seseorang, namun alangkah lebih indahnya ketika cinta yang kita berikan kepada orang lain adalah cinta yang berlandaskan atas kecintaan kita kepada Sang Pemilik Hidup.

Banyak sekali orang yang rela melakukan segala sesuatu demi membuat orang yang dicintai merasa senang, hingga mungkin kadang melupakan aturan Allaah Ta'ala yang sebenarnya dalam aturan itu Allaah Ta'ala sedang melindungi kita dari hal yang mungkin akan membuat kita merasa tidak nyaman atau bahkan merasa hampa tanpa kehadiranNya Ta'ala (Na'udzubillaah). Sungguh, sangat disayangkan jika kita hanya sekedar ingin membuat diri kita bahagia dengan cara kita memuliakan cinta yang tidak semestinya.

Andai setiap manusia mampu memahami hakikat sebuah cinta, pasti mereka akan berbondong-bondong untuk menghalalkan pasangannya atau menjaga orang yang dicintai dengan cara yang Allaah Ridhai.

Begitulah dahsyatnya cinta, yang mungkin membuat nalar kita melakukan hal biasa meskipun yang biasa belum tentu benar.

Sungguh, cinta Allaah Ta'ala adalah cinta yang sangat indah yang takkan pernah bisa kita lukiskan indahnya bahkan lebih indah dari kisah dua insan yang saling mencintai dan menikah tanpa ada aktivitas pacaran sebelumnya. Ya, cinta Allaah itu lebih dan lebih indah untuk dirasakan karena sekali kita merasakan cinta kepada Allaah Ta'ala, maka kita tidak akan pernah ingin membiarkan cinta itu pergi dari hidup kita.

Ketika kita sudah mencintai Allaah Ta'ala, bukan hal mustahil untuk mencintai hambaNya dengan mudah dan kita pun akan merasakan kebahagiaan yang hakiki atas cinta kita kepada Allaah Ta'ala.

Mencintai bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, namun memurnikan cinta tersebut hanya kerena Allaah Ta'ala semata itulah yang membutuhkan perjuangan.

Semoga Allaah Ta'ala akan senantiasa memberikan kita cinta yang berlandaskan atas cinta kita kepadaNya Ta'ala.
Aamiin Ya Rabbal'aalamiin.

Senin, 05 Oktober 2015

Dari Sebuah Ujian Kita Belajar

"Bagaimana kabarmu Ara?" tanya seseorang yang baru saja menelponku.
"Aku rasa tidak begitu baik," jawabku lemas.

"Kau kenapa Ra? Ada apa?" tanyanya lagi.

"Biasalah Fin," jawabku malas.

"Ada apa lagi denganmu?" tanya belum juga puas.

"Apa aku harus bercerita semuanya Fin?" kali ini aku bertanya, bukan menjawab.

Aku merasa dadaku sesak saat ini, benar-benar sesak hingga membuat air mataku tiba-tiba saja menetes tanpa izin.

"Sudah, tidak usah kau ceritakan. Aku rasa keadaan saat ini sedang membuatmu merasa sedih, kapan kita bisa bertemu?" tanyanya kembali.

"Lusa aku ada dirumah, kemarilah sekalian menenamiku dirumah," jawabku masih malas.

Aku segera menghapus air mata di pipiku yang sempat terjatuh tadi.

"OK! Baiklah, lusa aku akan kesana," katanya sigap lalu segera menutup telponnya.

Dia adalah sahabat baik sekaligus sahabat spiritualku, semua yang aku rasakan tidak pernah dia lewatkan satu halpun, Dia adalah satu-satunya yang mengerti keadaanku yang penuh dengan kekurangan ini. Dia adalah Fina.
******

"Tenanglah Ara, semua pasti ada hikmahnya. Allaah tidak mungkin memberikan semua ini tanpa alasan Ra. Lagipula Allaah Tahu bahwa kamu mampu untuk melewatinya Ra," ungkap Fina sambil mengelus lembut pungungku yang sedang menangis dipelukannya.

"Fin, boleh ga aku iri sama orang lain? Orang lain yang lebih bahagia dari aku?" tanyaku pada Fina dengan tangisanku.

"Ra, mana kita tahu orang yang bahagia itu benar-benar bahagia. Mungkin saja beban yang dia pikul lebih berat dari bebanmu tapi dia tidak pernah mengeluh jadi yang kamu lihat hanya kebahagiaanya," kata Fina berusaha membesarkan hatiku.

Aku masih menangis.

"Ra, seseorang yang beriman itu pasti akan mendapatkan ujian di dunia ini. Jadi jangan merasa Allaah tidak sayang padamu, justru dengan ini semua Allaah ingin mengatakan bahwa Allaah begitu menyayangimu Ra dan Allaah tidak akan menguji hambaNya melebihi kemampuan hambaNya Ra," kata Fina kali ini agak panjang.

"Berarti aku mampu melewati ini semua ya Fin?" tanyaku masih terisak.

"Pasti mampu Ra, pasti mampu," jawab Fina mantap.

Aku melepaskan pelukann Fina dan menatapnya lekat, aku seperti mendapat kekuatan dari belaian lembut tangannya dan tatapan hangat matanya.
******

"Ara!!!!" seru seseorang memanggilku.

Aku segera menengok kearahnya dan tersenyum senang.

"Ada apa sih?" tanyaku pada temanku yang tadi memanggilku.

"Kamu ini setipa hari semangat banget kuliah Ra, sampe-sampe aku harus mengejarmu sejauh ini," katanya ngos-ngosan setelah berlari menghampiriku.

Aku hanya tersenyum kecil menatap teman satu jurusanku ini.

"Ya harus semangat dong Rin, kan biar kita dapat banyak manfa'at atas ilmu yang kita pelajari Rin," jawabku masih dengan senyum.

"Aku heran padamu, sudah tahu jadwal kuliah kita super duper padat, tapi kok kamu ga da capek-capeknya dan kamu juga ga terlihat terbebani dengan semua tugas dari dosen kita," ungkapnya keheranan.

"Kamu ini Rin, bisa aja kalau ngomong. Semua ini harus kita jalani sebaik mungkin karena ini kesempatan yang mungkin ada membuat kita belajar menjadi seorang yang lebih baik. Bahkan semua resiko dan beban yang kita dapatkan itu adalah cara agar kita bisa belajar dan terus belajar," kataku sok bijak.

Padahal, Rina tak pernah tahu bagaimana keadaanku yang sebenarnya dengan semua ujian yang membuatku harus terus belajar dan belajar. Ujian yang tak jarang membuatku sering meneteskan air mata di depan orang-orang yang sangat aku percaya. Ujian yang lambat laun akan membautku semakin dewasa dan ujian yang suatu hari nanti akan membuatku bersyukur atasnya.

Mereka hanya tau bahagiaku tanpa tahu perjuangan ku untuk melawan keterpurukan ku ketika aku merasa beban ku terasa berat. Mereka hanya tau senyuman bahagiaku tanpa mereka tahu bahwa sebelumnya aku menangis semalaman hingga mungkin membuat mataku sembam.

Namun, aku selalu ingat kata-kata kakakku, "Dek, bersikaplah seolah-olah kita tidak memiliki masalah."

Dan itulah yang aku selalu lakukan agar terlihat bahagia, karena ujian ini tidak lain tak tidak bukan untuk memberikan sebuah pelajaran penting agar kita menjadi insan yang lebih baik dimataNya.

Jumat, 02 Oktober 2015

Ondel-Ondel

            Nyok kite nonton ondel-ondel.. Nyok!

            Nyok kite ngarak ondel-ondel.. Nyok!

            Ondel-ondel ada anaknya.

            Terdengar lagu tradisional ondel-ondel dari depan gang rumahku.

            “Ummi, itu ada apa kok ada suara orang nyanyi?” tanyaku polos.

            “Suara orang nyanyi? Mana nak?” kata Ummiku malah balik bertanya.
            “Itu lho Mi, itu,” kataku mencoba membuat Ummi untuk mendengarkan kembali suara yang memang masih sayup-sayup terdengar dari rumah kami.

            “Oh yang itu nak! Itu lagu ondel-ondel nak, berarti diluar ada yang lagi ngamen sama ondel-ondel.

            Aku hanya menatap Ummi ku dan memeperlihatkan wajah penasaranku. Saat itu usiaku masih 4 tahun dan saat itu aku baru pertama kalinya tinggal di Jakarta bersama Abah dan Ummi ku yang baru saja pindah.

            “Ondel-ondel Mi?” tanyaku penasaran.

            “Iya, ondel-ondel nak. Ondel-ondel itu boneka khas dari Jakarta nak,” jawab Ummiku menjelaskan.

            Aku masih belum bisa membayangkan ondel-ondel itu seperti apa.

            “Kalau kamu mau lihat? Boleh nak,” ujar Ummiku memberikan aku kesempatan untuk bisa melihat bagaimana ondel-ondel itu.

            Aku masih ragu untuk keluar rumah dan melihat yang namanya ondel-ondel. Ummiku sadar atas keraguan yang aku rasakan, Ummi menatapku lalu tersenyum.

            “Tidak apa-apa kok nak, lihat saja diluar. Ondel-ondelnya ada diujung gang sana. Dia lewat didepan gang,” ujar Ummiku meyakinkanku.

            “Ayo sama nenek, nenek antar,” ajak nenekku yang dari tadi mendengarkan percakapanku dengan Ummi.

            Aku masih saja belum yakin untuk melihatnya karena ini baru pertama kalinya aku tahu bahwa di Jakarta ada boneka tradisional. Nenekku ikut menatapku dan dia sadar aku masih berfikir.

            “Ayo, keburu nanti ondel-ondelnya pergi lho,” ajak nenekku yang juga sepertinya ingin melihat si ondel-ondel.

            “Tapi ondel-ondelnya tidak seram kan Mi?” tanyaku meyakinkan diriku sendiri.

            “TIdak kok nak, kamu pasti suka,” ujar Ummiku lembut dan tenang.

            “Iya deh. Ayo nek, kita lihat ke depan,” ajakku akhirnya mau untuk melihat seperti apa ondel-ondel itu.

            Aku berjalan dibelakang nenekku menyusuri gang rumahku, disepanjang jalan aku terus membayangkan bagaimana bentuk dari ondel-ondel itu.

            Plang dung plang dung plang

            Plak…plak….plak…..

            Gendang nyaring nyaring ditpepak

            Yang ngiringin nandak

            Pada surak-surak

            Nyanyian itu semakin keras terdengar, aku menjadi takut karena suara nyanyian itu semakin keras. Disaat aku mulai merasakan ketakutan ternyata aku sudah berada diujung gang rumahku dan ondel-ondel sudah terlihat dari gang tersebut meskipun masih aga jauh.

            Nenekku yang sudah beberapa kali melihat ondel-ondel tidak heran tapi masih merasa takjub dengan ondel-ondel sebagai maskot Jakarta. Aku yang penasaran mengintip dari balik baju nenekku yang berada tepat di depanku.

            Aku terkejut melihat bentuk dari ondel-ondel yang baru pertama kali aku lihat hari itu, besar sekali ondel-ondel itu dan dia berjalan seolah-olah dia akan terjatuh karena berjalan layaknya seseorang yang kehilangan keseimbangan. Tangannya pun tidak sperti tangan orang-ornag yang bisa bergerak seseuai keinginan, tangannya hanya seperti kain yang tak miliki tulang dan bergerak dari depan dan kebekalang tanpa arahan.

            Aku benar-benar terkejut dan ketakutan, aku menangis dan berlari pulang sendiri meninggalkan nenekku yang masih berada diujung gang untuk melihat ondel-ondel tadi.

            “Ummi! Ummi!” seruku sambil menangis dan berlari menuju Ummiku.

            Ummi terlihat bingung melihatku menangis.

            “Kamu kanapa nak? Kok menangis?” tanya Ummiku sambil meraih tumbuhku untuk dipeluk.

            “Hiks, hiks. Itu Mi, ondel-ondelnya besar sekali. Aku takut Mi, aku tidak mau lihat lagi,” kataku sesenggukan karena menangis.

            Ummiku tersenyum kecil.

            “Maaf ya nak, Ummi kira kamu akan suka dengan ondel-ondel itu. Ternyata kamu takut karena ondel-ondel itu terlalu besar ya,” ujar Ummiku meminta maaf sambil mengelus lembut punggungku.

            “Iya Mi,” aku masih menangis.

            “Tidak usah takut, ada Ummi disini. Lagipula ondel-ondelnya juga tidak akan kemari nak,” kata Ummiku menenangkanku.

            Aku mengangguk perlahan.

            “Lho, si Rafi kemana? Kok digang tidak ada?” tanya nenekku mencariku.

            Ummi tersenyum kepada nenekku sambil menepuk pundakku mengatakan bahwa aku ada dipelukkan Ummi.

            “Rafi takut dengan ondel-ondel Nek,” jawab Ummiku lembut.

            Nenekku tertawa mendengar itu.

            “Kenapa kamu tidak bilang, harusnya tadi kamu bilang sayang,” ujar nenekku sambil ikut mengusap lembut kepalaku.

            Aku hanya menggelengkkan kepala karena aku terlalu takut dengan ondel-ondel jadi aku memutuskan untuk segera berlari.

            “Tidak apa-apa nak, ondel-ondelnya sudah pergi kok,” ujar Ummiku kembali menenangkanku.

            Akhirnya aku memberanikan diri untuk melepaskan pelukan Ummiku.

            “Nanti temani aku ya Mi kalau ada ondel-ondel lagi,” pintaku masih merasa takut.

            Ummi mengangguk perlahan.

Cinta Sempurna


"Nak! Lihatlah teman-temanmu yang diusiamu sudah menikah bahkan sudah memiliki anak, lalu kamu kapan nak? Jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan mu saja, kamu juga butuh teman hidup. Usiamu sudah tidak muda lagi nak," ujar ibuku yang mulai khawatir karena aku belum juga punya pasangan.

Aku menghela nafas panjang dan berusaha tenang untuk menjawab pernyataan serta pertanyaan ibuku.

"Bu, bukan Izha tak ingin punya pasangan, hanya saja Izha sedang memilih laki-laki yang benar-benar serius pada Izha karena Izha tak ingin salah Bu. Bukankah Ibu juga ingin begitu? Agar Izha bisa bahagia nantinya," jawabku perlahan berharap ibuku akan memahami keadaanku.

"Tapi bukan berarti kamu benar-benar tidak memikirkan hal yang satu itu kan nak? Cobalah kamu dandan dan memperbaiki penampilan agar ada lelaki yang tertarik sama kamu, ibu lihat kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu jadi kamu tidak sempat untuk merapikan penampilanmu nak," ujar ibuku memberi saran yang lumayan membuatku kaget.

Aku kembali menarik nafas, kali ini agak panjang. Aku tahu ibu tidak bermaksud untuk menyampaikan hal itu karena sebenarnya telah banyak laki-laki yang menyukaiku dan ibuku tahu akan hal itu.

"Tentu saja Izha memikirkannya Bu, namun Izha tidak ingin tergesa-gesa Bu dan mungkin belum waktunya untuk Izha menikah Bu. Lagipula cinta itu tidak akan datang hanya karena penampilan, Bu! Jika itu karena penampilan maka bagi Izha laki-laki itu hanya melihat Izha dengan hawa nafsu belaka," ujarku berusaha tetap tenang.

"Iya, ibu mengerti nak. Tapi Ibu lihat teman-teman kamu sudah punya pasangan semua dan tinggal tunangan lalu menikah? Apa kamu tidak kepikiran untuk cari pacar sebelum memutuskan untuk menikah? Biar kamu dan calonmu saling mengenal lebih jauh jadi kan tidak akan salah pilih," desak ibuku agar aku segera fokus untuk hal yang satu ini.

"Bu, pacaran itu tidak menjamin kita akan menemukan seorang laki-laki yang tepat untuk dipilih. Bagi Izha, pacaran itu sama saja dengan hubungan yang masih belum jelas akhirnya dan laki-laki yang mengajak pacaran bukan laki-laki gentleman dan jauh dari rasa tanggung jawab," jawabku berusaha memberikan pengertian pada ibuku.

Ibuku memandangku lekat tepat dikedua bola mataku, dan dari sana terlihat ke khawatiran yang sangat.

"Ibu hanya ingin kamu menikah diusia yang sewajarnya seorang anak perempuan menikah," ujar ibuku menunduk pilu.

Aku merasakan kepiluan ibuku atas keadaanku.

'In syaa Allaah Izha akan menikah sesuai usia normal perempuan untuk menikah Bu. Hanya saja mohon bersabar dulu ya Bu, selain Izha ingin mendapatkan kebahagiaan Izha juga ingin berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan itu dengan cara yang baik menurut Allaah Ta'ala Bu. Bukan Izha tidak ingin mengenal pasangan Izha sebelum menikah, tapi Izha rasa pacaran bukan satu-satunya cara untuk bisa mengenal pasangan kita kan Bu? Bahkan Ibu dan Ayah pun tidak pernah pacaran kan sebelum menikah? Izha ingin menjaga diri Izha untuk pasangan Izha Bu, seperti halnya Ibu yang menjaga diri Ibu untuk Ayah dulu," jelasku sambil menggenggam tangan ibuku lembut.

Ibu kembali mengangkat kepalanya dan menatapku samb tersenyum dan mengangguk perlahan.

"Izha sebenarnya pun ingin segera menikah Bu, namun bukan berarti harus tergesa-gesa kan Bu? Dalam kesendirian ini, biarkan menjadi masa dimana nantinya Izha akan menemukan sebuah cinta yang sempurna. Cinta sempurna yang akan selalu menjaga bukan menodainya dengan kedok bernama pacaran. Biarkan cinta sempurna itu datang dari dia yang akan menjaga Izha dengan meminta kepada Ayah dan Ibu untuk meminang Izha, bukan dia yang datang pada Izha untuk menjalin hubungan pacaran yang bahkan kita tak pernah tahu akhirnya seperti apa. Semua sudah diatur sebaik mungkin Bu oleh Allaah Ta'ala dan semua akan indah pada saatnya," jelasku akhirnya mengukirkan senyuman lebar dan kelegaan untuk ibuku.

"Bu, biarkan aku menemukan cinta sempurnaku. Cinta sempurna yang datang dari Allaah Ta'alah melalui laki-laki yang akan menjadi suami dan Imam dalam rumah tanggaku kelak," bisikku dalam hati.

Rabu, 30 September 2015

Melepasmu demi RidhaNya

Assalaamu'alaykum. Dek, kalau niat baik kita belum mendapat ridha dari orang tua kita, apa yang akan adek lakukan?

Sebuah pesan Whatsapp masuk ke ponselku, aku tersenyum karena pesan itu dikirimkan oleh bang Billah. Seorang ikhwan yang sedang berproses denganku, tanpa pikir panjang aku langsung membalas pesan itu.

Wa'alaykumussalam warahmatullaah bang. Niat apa dulu bang?

Aku sengaja untuk menjawab dengan singkat agar tidak membuat kita jadi berkhalwat nantinya.

Tentang niat baik kita dan tentang proses kita dek.

Aku menatap layar ponsel, jantungku terasa berhenti berdetak beberapa detik. Aku mencoba menenangkan diriku dan berusaha menata nafasku dengan menarik nafas panjang seraya merangkai kata untuk membalas pesan singkat tersebut.

Bang, jujur. Kalau sudah orang tua yang mengatakan tidak ana pun tidak akan bisa melakukan apa-apa kecuali menuruti apa kata mereka. Karena bukankah ridha Allaah Ta'ala ada pada ridha orang tua bang.

Balasku terlihat tenang meskipun sebenarnya dadaku amat sangat sesak. Padahal baru kemarin aku bisa berkomunikasi dengan bang Billah setelah proses ta'aruf kami jalani hingga bang Billah datang ke rumah untuk bersilaturahiim dan baru kemarin pula aku menjelaskan bagaimana keadaan keluargaku yang istimewa dan aku sudah merelakan apapun keputuasan bang Billah nantinya.

Iya dek, ane minta maaf sebelumnya. Ane juga tidak bisa berbuat apa-apa, ini juga berat buat ane. Namun ane berharap ini yang terbaik buat kita dek, meskipun ini terasa berat. Semoga Allaah akan menggantikan untuk kita pasangan yang dapat menghibur kita dan memberikan ketenangan untuk kita.

Kali ini balasan bang Billah agak panjang, aku benar-benar merasakan dadaku semakin sesak bahkan meskipun sudah menarik nafas yang begitu panjang namun sesak itu belum juga menghilang.

Aku tidak tahu harus membalas apa kepada bang Billah, ingin rasanya aku tidak membalas dan membiarkannya begitu saja tapi ternyata aku tidak bisa meskipun air bening dari mataku menetes menjatuhi pipiku.

Iya bang, mungkin ini adalah yang terbaik untuk kita. Apalagi menikah itu tidak hanya menyatukan dua orang tapi dua keluarga yang berbeda. Ana tidak tahu harus bicara apa lagi bang, ana hanya berharap semoga Allaah menetapkan kebaikkan didalamnya dan semoga niat baik abang untuk menikah segera terwujud bang. Barakallaah bang. ^^

Aku membalas sambil menahan sesak dadaku dan tetesan air mata yang semakin deras membasahi pipiku seperti hujan deras yang tak kunjung reda. Dia, adalah ikhwan pertama yang datang ke rumah untuk silaturahiim dengan niat serius untuk menikahi diriku. Dia adalah ikhwan pertama yang berproses denganku sampai sejauh ini.

Aku masih belum benar-benar percaya dengan apa yang baru saja aku alami, aku masih menangis sambil menatap semua pesan dari bang Billah. Ini semua benar-benar tak pernah aku bayangkan sebelumnya karena semua keluargaku merasa cocok dengan abang dan kami punya visi dan misi yang sama. Akupun berani menaruh harapan besar kepadanya, namun ternyata takdir berkata lain.

Aku tidak mungkin memaksakan agar proses ini berlanjut hingga ke pernikahan sedangkan orang tua bang Billah belum ridha, padahal ridha orang tua lah yang akan mengantarkan anaknya untuk menggapai ridha Allaah Ta'ala. Aku berusaha untuk mengikhaskan bang Billah demi ridha Allaah Ta'ala, mungkin ini adalah yang terbaik untuk kami saat ini.

Aku berpikir bahwa jika memang kami berjodoh pastilah kami akan bertemu lagi dan tentunya ridha Allaah Ta'ala akan mengantarkan kami untuk bisa bersama membangun rumah tangga yang bahagia dunia akhirat.

Aku berharap, ini semua akan menjadi pengalaman berharga untukku jika suatu hari nanti akan berproses lagi. Aku tidak akan mencintai siapapun sampai akad itu akan diucapkan oleh suamiku, dan aku akan selalu menjadikan Allaah Ta'ala Sang Pemberi Petunjuk untukku. Semoga dengan begitu cinta yang sesungguhnya akan datang meskipun aku harus menunggu hingga diujung jalanku.

Sabtu, 26 September 2015

Antara Kekagumanku dan Rasa Cintaku

Malam ini, entah kenapa ada rasa yang berbeda dihatiku. Aku tak tahu benar perasaan apa yang sedang aku rasakan malam ini tapi yang pasti aku merasa dadaku sesak dan membuatku merasa malas untuk melakukan sesuatu.

"Fa! Bagaimana prosesnya?" tanya orang disebrang yang sedang menelponku.

"Kamu ini Ra, belum juga ngucap salam," ujarku belum menjawab.

"Hehehe, Assalamu'alaykum," kata Rara mengucap salam.

"Wa'alaykumussalam warahmatullaah, kok tiba-tiba nanyain itu Ra?" tanyaku balik.

"Ya ga, aku sebagai sahabatmu juga ingin tahu perkembangan prosesmu Fa," ujarnya ngeles.

Aku tahu benar kalau Rara penasaran dengan perkembangan prosesku.

"Belum ada kelanjutan Ra, aku masih menunggu dari sana akan seperti apa," jawabku datar.

"Kok belum ada kelanjutan sih Fa?" tanya Rara lagi.

"Aku juga tidak tahu, mungkin dari pihak sana masih mempertimbangkan untuk melanjutkan atau tidak," jawabku berusaha berfikir positif.

"Tapi kamu siap untuk melanjutkan proses kan Fa kalau dari pihak sana pun lanjut?" tanya Rara untuk kesekian kalinya.

"In syaa Allaah aku siap Ra," jawabku mantap.

Bagaimana mungkin aku tidak siap, karena orang yang sedang berproses dengan ku adalah orang yang selama ini aku kagumi. Semua yang ada didirinya membuatku kagum padanya, dari agamanya, akhlaknya, perilakunya, bahkan sampai kegemarannya. Aku merasa surga begitu dekat jika aku bersamanya.
********

"Fa, apa kabar?" tanya seorang laki-laki yang ada didepanku dan menatapku lekat.

"Alhamdulillaah aku baik Kha," jawabku tertunduk.

"Sudah lama ya kita tidak bertemu," ungkapnya mencoba mencairkan suasana.

Aku hanya mengangguk tanpa menatapnya.

"Kamu kenapa Fa? Sakit?" tanya Khalil kembali.

Kali ini aku menggeleng.

"Aku tidak sakit kok Kha. Kamu apa kabar Kha?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Ya seperti yang kamu lihat, aku baik," jawabnya dengan tersenyum.

Aku kembali terdiam, tak bisa mengatakan apapun.

Laki-laki yang sekarang ada di depanku adalah laki-laki yang dulu pernah aku cintai, mungkin sampai sekarang pun sama. Namun pertemuanku dengannya hari ini membuatku merasa asing.

Sebenarnya tak banyak yang berubah dari kami, hanya saja jarak yang aku ciptakan diantara kami lah yang membuat kami jadi merasa asing, lebih tepatnya membuatku merasa asing.

Hampir 4 tahun ini aku dan dia tak lagi berkomunikasi seperti biasanya, saat itu aku memutuskan untuk pergi dari kehidupannya karena sebuah kekecewaan yang aku rasakan. Ya, aku memilih pergi ketika rasa cintaku padanya masih begitu kuat aku rasakan.

"Kau tak banyak berubah ya Fa, hanya sekarang sepertinya kau jadi lebih pendiam," kata Khalil membuyarkan lamunanku.

Aku hanya tersenyum tanpa arti, tak tahu apa yang harus aku katakan.

Pertemuanku dengan Khalil hari ini membuatku menyadari bahwa cinta itu sebenarnya tidak hilang, cinta itu hanya terkubur oleh kekagumanku pada orang yang saat ini sedang berproses denganku. Ya, hanya terkubur dan mungkin saat ini kembali ku temukan dengan perasaan yang lebih dalam.

Ah, hati betapa mudahnya kau berubah.

******

Hari ini aku dihadapkan pada sebuah perasaan yang aku sendiri lah yang membiarkannya ada, sebuah rasa kagum dan rasa cinta.

Aku yang merasa bahwa rasa cinta itu akan menghilang seiring berjalannya waktu berusaha membuka hati untuk seseorang yang saat ini aku kagumi dan membiarkannya datang untuk menjalin hubungan serius denganku,

Namun ternyata cinta itu datang kembali ketika aku sudah memulai untuk membuka lembaran baru dalam hidupku. Aku menjadi bingung dengan apa yang harus aku lakukan.

Dengan orang yang aku kagumi, aku merasa aku akan bahagia bisa hidup bersamanya dan dengan orang yang aku cinta aku rela untuk menghabiskan hidupku untuk terus memahaminya.

Namun semua telah aku putuskan, dia hanyalah masa lalu yang telah aku tutup lembarannya meskipun aku tidak yakin dia akan menemukan seseorang yang memahaminya lebih dari aku tapi aku yakin kehidupannya akan tetap berjalan tanpa aku.

Maafkan cinta masa laluku, aku memilih untuk hidup bersama dengan orang yang aku kagumi saat ini. Meskipun aku tahu rasanya sakit meninggalkanmu namun aku percaya cinta itu akan datang tepat pada waktunya, cinta antara aku dan orang yang aku kagumi.

Maafkan aku cinta masa laluku, aku tak bisa menetapi janjiku untuk terus memberikan dukungan agar kau bisa mengendalikan dirimu terutama ketika amarah sedang menguasaimu

Maafkan aku karena aku memilih untuk kembali mengubur rasa cinta itu.
Maafkan aku. 

Sabtu, 12 September 2015

Berhenti Cari Kambing Hitam!

Seorang anak yang ditunggu-tunggu akhirnya hadir setelah usia pernikahan mereka genap 12 tahun. Mereka sangat berbahagia dengan kelahiran buah hati yang sejak lama mereka upayakan dengan berbagai cara. Mereka berdoa setiap hari agar dikaruniai bayi mungil yang menggenapi keluarga kecilnya.
Hingga suatu pagi saat bayi mungilnya berusia 2 tahun, sang ayah melihat sebotol obat yang terbuka. Dia terburu-buru untuk berangkat ke kantor, dan meminta istrinya untuk menutup botol itu dan menyimpannya di lemari. Tapi sang istri karena kesibukannya di dapur, ia menunda hingga akhirnya lupa menutupnya.
Sang balita yang mulai bisa berjalan pun menghampiri botol yang baginya memiliki bentuk menarik itu. Karena tertarik dengan warna obat, si anak tiba2 memakan semuanya. Obat tersebut adalah obat keras yang bahkan untuk orang dewasa pun diperbolehkan hanya dalam dosis yang kecil.
Mulut si bayi pun berbusa. Sang ibu pun sangat panik dan segera membawa si bayi kerumah sakit. Tapi si bayi tak tertolong.
Sang istri pun menangis sambil terus membayangkan bagaimana reaksi suaminya nanti begitu tahu si bayi telah tiada. Hingga ketika sang suami telah sampai di rumah sakit dan melihat anaknya telah meninggal, sang suami segera menemui istrinya sambil mengucapkan lima kata dengan tegas. Kalimat itulah yang tak pernah dilupakan seumur hidup oleh sang istri.
Silahkan tebak apa lima kata itu?
Sang suami hanya mengatakan, "Jangan menangis, aku bersamamu sayang."
Respons suami sama sekali berbeda dangan apa yang di bayangkan oleh istrinya. Sebuah reaksi dan tindakan yang sangat bijak dari sang suami. Si anak sedah meninggal dan tak akan bisa dihidupkan lagi. Tak ada gunanya mencari-cari kesalahan pada sang istri.
Tak ada yang perlu disalahkan, yang mereka pikirkan hanyalah bagaimana agar mereka bisa menghadapi masa depan dengan kembali ceria. Jangan sampai masalah satu bisa berdampak pada munculnya masalah-masalah baru. Jika salah respons, bisa saja mereka saling menyalahkan hingga rumah tangga tak lagi dipertahankan. Akibatnya sudah kehilangan anak, kehilangan kekasih pula. Mereka pun memilih untuk mengevaluasi diri sendiri. smile emoticon
‪#‎GODiMissYou‬
From my lovely young sister. ^^

Kamis, 03 September 2015

Laki-Laki Biasa dan Caranya Menghargai Wanita

Hari ini aku mendapatkan giliran shift 3 untuk jaga di apotek, seperti biasa saat jam sudah menujukkan pukul 23.30 aku harus mengunci pintu utama dan membuka loket kecil disebelahnya.

Tak selang beberapa lama setelah pintu aku tutup datang, seorang laki-laki yang wajahnya tertutup dengan masker yang ia gunakan. Aku yang berdiri di depan komputer kasir menatap kedatangannya, dia yang berusaha masuk melalui pintu utama menatapku dari luar dan akhirnya aku persilakan dia untuk menuju loket kecil di sebelah pintu utama.

"Oh lewat sini mbak?" tanyanya.

Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.

"Mbak, ada obat batuk Bi*****n untuk batuk berdahak ga?" ujarnya mulai bertanya.

"Bi*****n yang apa?" tanyaku belum menjawab

"Yang untuk batuk berdahak mbak, Bi*****n yang ada mentholnya," jawabnya berusaha menjelaskan..

Aku berfikir tentang obat yang laki-laki ini maksud, akhirnya aku menuju rak obat yang berjejer obat batuk bermerk Bi*****n. Aku mengambil satu obat dan menujukkan dari dekat komputer kasirku.

"Mbak! bisa tolong dibawa kesini ga?" pintanya ingin melihat obat tersebut dan memastikan

Akhirnya aku berjalan menuju loket dimana laki-laki itu berdiri, saat aku melihat kearahnya dia sudah membuka maskernya. Seorang laki-laki yang ternyata masih muda dan terlihat manis, ah tapi bukan masalah manis dan tidaknya laki-laki ini hingga aku mau menuliskan ceritaku tentangnya malam ini.

"Ini untuk batuk berdahak yang dahaknya susah keluar mas," kataku sambil mengulurkan obat batuk Bi*****n yang dia sebutkan tadi,

"Kalau yang udah berdahak bisa pake ini mbak?" tanyanya maemastikan obat batuk ini.

"Ini bisa mas, udah berdahak tapi dahaknya susah keluar," jawabku sedikit menjelaskan.

"Ini ada mentholnya ga mba?" tanyanya belum yakin.

"Ini setahu saya ga ada mentholnya mas, kalau mau yang ada mentholnya bisa pake O** C**** mas," jawabku memberikan pilihan lain.

"Kalau O** C**** ada mentholnya mb?" tanyanya kembali.

"Iya mas, ada," jawabku singkat.

"Boleh deh mbak yang itu saja," pintanya akhirnya memilih O** C****.

Laki-laki yang sedari tadi memegang obat batuk yang pertama kali aku sodorkan akhirnya meletakkan obat itu tepat didepannya dan aku berusaha untuk mengambilnya. Satu hal yang sangat aku ingat malam ini,

"Maaf," kami mengatakannya bersamaan ketika aku akan mengambil obat yang ada di depannya.

Dan yang membuatku semakin kagum dengan laki-laki ini adalah saat dia mengatakan maaf bersamaan dengan tangannya yang melakukan reflek gerakan menjauh dari obat tersebut. Dia melakukan itu untuk menjaga agar tanganku dan tangannya tidak bersentuhan.

Masyaa Allaah, aku yang menganggap dia adalah laki-laki biasa ternyata bisa menghargai seorang wanita yang seperti aku. Ya, aku yang berpenampilan  seperti ibu-ibu dengan jilbab lebarku dan dia tidak merasa aneh justru dia terlihat sangat menghargai ku atas perlakuannya padaku malam ini.

Meski yang dia lakukan terlihat sederhana, namun itu adalah hal yang sangat aku sukai dari seorang laki-laki yang mungkin terlihat biasa dari luar tapi begitu pandai menghargai seorang wanita. Sungguh, jarang aku menernui pasien yang bisa bersikap seperti itu selama ini, bahkan mungkin baru dia satu-satunya laki-laki yang melakukan itu padaku.

Ah laki-laki ini membuatku belajar bahwa tidak semua yang terlihat biasa tidak tahu cara menghargai orang lain. Dia membuka mataku bahwa tak seharusnya kita melihat sebelah mata orang yang terlihat biasa.

Terima kasih untuk laki-laki yang entah siapa namanya yang telah menghargaiku malam ini. Alhamdulillaah aku bisa bertemu dengan anda. ^^

Selasa, 18 Agustus 2015

Perpisahan, Hal Yang Tak Pernah Aku Bayangkan

Aku menatap satu persatu akhwat-akhwat shalihah yang ada di depanku, beberapa dari mereka telah aku kenal sebelumnya karena mereka adalah adik kelasku namun ada juga satu dua orang yang baru aku temui ditempat ini. Aku memerhatikan Ummi saat memberikan materinya, seperti biasa aku hanya terdiam tanpa mengatakan apapun karena ini adalah lingkungan baru bagiku. Aku merasa masih malu untuk memulai pembicaraan dan aku hanya berbicara seperlunya ketiak ditanya.

"Ini siapa namanya?" tanya Ummi. 

"Fi'u Mi," jawabku singkat agak gugup. 

"Oh, ini temannya Ayu?" tanya Ummi kembali. 

"Bukan Mi, teh Fi'u ini seangkatan sama Karin pas SMA dulu," sambar Ayu menjawab. 

Ummi hanya mengangguk tanda mengerti meskipun baru pertama bertemu denganku. Aku tak pernah membayangkan akan berkumpul kembali dengan teman-teman SMA disebuah lingkaran yang aku pun tak pernah membayangkan akan menjadi bagian dari mereka.

Baru beberapa bulan yang lalu aku kembali ke kota Bogor ini karena aku mendapatkan sebuah pekerjaan disini. Aku yang dulu tinggal di Jogja memilki kelompok untuk melingkar merasa sayang ketika aku tidak mencari kelompok lingkaran lain agar aku bisa bergabung dengna mereka dan bathinku mendapatkan asuoan nutrisi agar tidak gersang. Hingga akhirnya aku putuskan untuk menghubungi Karin sahabatku hingga saat ini dan Alhamdulillah gayung bersambut. Karin mengatakan bahwa aku masih bisa untuk bergabung dengan kelompok lingkaran yang Karin ikuti.

Aku mencari waktu yang tepat untuk bisa mengikuti kajian dalam lingkaran baruku, hanya saja aku masih merasa malu dan merasa berat untuk memulai kembali beradaptasi dengan orang-orang baru ataupun kelompok baru.

Sampai aku putuskan untuk ikut kajian Ummi dalam lingkaran yang kusebut lingkaran cinta hari ini walaupun tak jauh dari dugaanku bahwa aku akan pasif dari yang lain namun dari sinilah semua berawal menjadi sebuah ikatan yang tak ingin aku lepaskan.
**********
"Siapa yang bawa CV?" tanya Ayu kepada semua anggota lingkaran yang hadir.

"Aku bawa Yu," jawab Dian.

"Ya udah sini kasih ke aku, tadikan Ummi bilang kalau suruh kasih ke aku," kata Ayu serius.

"Sini aku mau baca," sahut teh Atieh terlihat menggoda.

"Ga boleh," jawab Dian spontan

"Iya Atieh, ga boleh. Aku aja ga boleh buka sama Ummi," kata Ayu tersenyum sambil mengambil amplop coklat yang disodorkan Dian kepadanya.

Aku hanya tersenyum melihat mereka, saat itu kami tinggal berempat karena teman-teman yang lain sudah pulang terlebih dahulu.

'Teh Fi'u udah bawa belum?" tanya Ayu kepadaku.

"Udah sih Yu, tapi fotonya belum ada. Kalau boleh mah aku kasih CV nya sekarang fotonya nyusul," jawabku bernegosiasi.

"Yah teh, mendingan sekalian besok aja kalau udah ada fotonya deh," jawab Ayu.

"Ya udah aku bawa pulang lagi berarti," kataku sambil tersenyum.

"Iya teh, besok kalau udah lengkap baru deh dibawa lagi. Hehehe," kata Ayu lagi.

Hari ini masih belum terlalu terbiasa dengan mereka yang ada disini,namun siap yang sangka esok atau lusa ketika kami bertemu kembali. Mungkin rasa cinta itu akan segera hadir.
********

"Sepertinya aku tidak akan melanjtukan kontrak kerjaku di sini karena aku ingin kembali ke Jogja menemani Ummiku Rin," kataku memulai pembicaraan saat aku berkunjung ke rumah Karin.

Karin dan teh Atieh yang juga ada di sana hanya terdiam menatapku lalu menyruput minuman yang ada dihadapan mereka. Akupun tak kalah diam.

"Aku berharap, semoga keputusanku ini adalah keputusan yang terbaik yang bisa aku ambil karena aku ingin menemani Ummiku mumpung aku belum menikah, hehehe," kataku sambil sedikit bercanda agar suasana tidak terlalu tegang.

"Berarti mbak Fi'u nanti cari kerja di Jogja?" tanya Karin memastikan.

Aku mengangguk dan menatap ke arah Karin, teh Atieh hanya terdiam menatapku.

"Memang kontaknya selesai kapan mbak?" tanya Karin.

"In syaa Allaah akhir Oktober Rin," jawabku menahan kebingunganku.

"Berarti nanti jadi jauh lagi dong mbak?" tanya Karin yang sebenarnya bukan sebuah pertanyaan tapi sebuah harapan agar aku tidak kembali ke Jogja.

"Iya Rin, tapi mau bagaimana lagi. Aku ingin menemani Ummi," jawabku menatap gelas yang ada di depanku.

Akhirnya suasana menjadi hening dan tak ada satu orang pun yang berbicara.

"Si Mirna kapan acara walimahnya?" tanyaku memecah kesunyian.

Saati itu aku merasa sangat mantap dengan pilihan yang aku ambil untuk kembali ke Jogja dan tinggal disana. Entah sampai kapan, tapi mungkin saja hingga aku menikah.
*******

Waktu berlalu dengan cepat hingga tidak terasa tinggal kurang dari dua bulan lagi kontrak kerjaku akan segera habis. Ada rasa bahagia karena aku akan segera meninggalkan tempat kerjaku sekarang namun ternyata aku baru sadar bahwa ada hati yang tak mau dipisahkan.

Hati yang terlanjur mencintai mereka teman-teman satu lingkaran karena Allaah Ta'ala, hati yang selalu ingin bertemu dan berbagi cerita tertawa bersama membicarakan hal-hal yang biasa para akhwat bicarakan.

Aku tak tahu harus berkata apa hari ini untuk mewakili perasaanku, namun satu hal yang pasti perpisahan ini adalah hal yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku tahu aku akan pergi dari sini namun aku tak benar-benar faham bahwa jarak kita akan menjadi jauh satu sama lain.

Ketika hati ini telah terikat dalam sebuah cinta karena Allaah, maka akan semakin sulit untuk membayangkan bahwa kita akan merasakan perpisahan.

Sungguh aku mencintai kalian karena Allaah Ta'ala, aku hanya berharap sejauh apapun jarak yang tercipta antara kita namun cinta ini takkan pernah hilang dari hati kita.

Untuk kalian taman satu lingkaran,
Karin yang masih saja selalu tomboy namun sudah belajar untuk menjadi cantik.
Teh Atieh yang selalu menjadi tetua diamana pun berada.
Ayu yang selalu kalem namun tetap memiliki kharisma.
Dian yang selalu memiliki pendirian yang kuat
Deva yang cantik, diem-diem menghanyutkan.
Elis yang selalu ceria.
Laela yang tak kalah cerianya dengan Elis
Andri yang gampang kahawatir.
Hilya yang tegas.
Fitri yang bener-bener kalem.
Dan Fuji yang sedang-sedang saja.

Maaf ketika aku belum benar-benar memahami kalian, tapi yang pasti bersama kalian hari-hariku menjadi berwarna karena kita saling melengkapi satu sama lain.

Dan jika suatu hari nanti kita memang harus berpisah, aku ingin kalian ingat bahwa aku pernah menjadi bagian di lingkaran cinta ini, cinta karena Allaah Ta'ala.

Senin, 17 Agustus 2015

Ketika Hati Ingin Berhenti

"Sebarapa lama lagi aku harus menunggumu?" tanyaku terbada kepada seorang laki-laki melalui pesan ponselku.
Dia hanya terdiam tanpa menjawab dan tak sedikitkpun memilki keinginan untuk menjawab pertanyaanku itu..
Dadaku dipenuhi rasa sesak, aku sudah lama sekali mengubur rasa itu unutknya namun hari ini aku tak mengerti kenapa aku justru merasa kalau perasaan itu lebih besar dan lebih hebat dari saat pertama kali rasa itu muncul.
"Aku ingin berhenti sekarang juga, bahkan juka kau tetep meminta ku untuk menunggumu," kataku memutuskan untuk mengakhiri obrolan kami malam ini.
Masih saja tak ada jawaban pasti darinya dan itu membuatku merasa sangat kesal dengannya.
"Memang aku pernah menyuruhmu menungguku? Jika memang kau mau berhenti maka berhentilah, jangan pernah mengarapkanku," jawabnya akhirnya masuk ke ponselku.
Aku tersenyum sinis membaca pesannya, dia masih sama seperti yang dulu, tak pernah berubah.
"Ternyata kau tak berubah sama sekali, masih saja tak memiliki keberanian untuk mengakui hal ini. Apa susahnya datang kepada orang tauku lalu kita membicarakan masa depan kita," desakku mulai marah.
Lama tak mendapatkan balasannya, aku memutuskan untuk pergi tidur dan berusaha untuk tidak memdulikannya seperti dulu.
aku tak pernah memabyangkan akau bertemu dengannya hari ini dan yang lebih tidak bisa aku bayangkan adalah ketika aku merasakan jantungku berdegub kencang hingga membuatku merasa canggung berada disampingnya.
Sangat sangat tidak aku percaya, padahal aku sudah merasa biasa selama hampir 4 tahun terakhir. Terlebih 2 tahun terakhir aku sudah mengagumi seorang laki-laki yang menurutku sangat shalih dan pantas untuk ku jadikan imam dalam hidupku.
*********
"Maafkan aku, aku masih begitu lemah dalam mengandalikan diriku agar tidak mengatakannya. Aku ingin benar-benar berhenti kali ini, maka aku puruskan untuk mengatakan semua itu kepadanya," ungkapku sambil terisak di depan sahabat terbaikku.
"Tapi bukan berarti kamu harus mengatakan itu semua sayang, tidak seharusnya kamu mengatakan itu semua pada seorang laki-laki seperti dia. Seorang laki-laki yang bahkan tidak pantas untuk kau kagumi," ujarnya sambil mengenggam erat tanganku.
"Aku juga tidak mengerti dengan perasaan yang aku rasakan saat ini Ris, aku benar-benar ingin berhenti darinya tapi semakin banyak orang yang berkata bahwa dia bukan laki-laki baik itu membuatku ingin memberontak dan mengatakan bahwa ada sisi lain dari dirinya yang tidak semua orang bisa melihatnya," ungkapku masih ingin mencari pembenaran dengan apa yang telah aku lakukan.
"Zha, bukan aku tak mau kamu bahagia dengan rasa cinta yang sedang kamu rasakan. Hanya saja apakah dengan mengatakan apa yang kamu rasakan padanya itu akan membuat Allaah menjadi ridha dengan rasa cintamu untuknya. Aku tak hanya ingin melihatmu bahagia di dunia dengan cintamu Zha, tapi aku juga ingin kamu bahagia hingga ke syurga bersama dengan orang yang kamu cintai," jelasnya dengan perlahan dan penuh pengertian.
Aku menatap wajah teduhnya yang membuatku merasa bersalah dengan semua yang telah aku lakukan malam ini. senyumnya mengingatkanku bahwa semua yang terjadi pada diriku adalah bentuk ujian dari Allaah atas perasaanku.
Aku tak dapat berakata apa-apa lagi kali ini, yang aku rasakan hanya dadaku sesak dan air mataku menetes lebih deras.
"Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang Ris? Aku benar-benar ingin berhenti dengan perasaan ini dan kembali membuka hatiku untuk laki-laki yang lainnya. Aku merasa benar-benar bersalah atas sikapku yang tak mampu mengendalikan diriku hingga mungkin mengecewakan Allaah. Aku ingin rasa cinta ini hilang dari hatiku agar aku bisa merasakan cinta yang halal," kataku dengan isak tangis yang tak pernah aku harapkan untuk datang.
Risa menatapku lekat dean semakin erat mengenggam tanganku.
"Memohon ampunlah pada Allaah agar Allaah berkenan untuk membuat hatimu hanya terpaut padaNya," saran Risa pada dan jelas.
Aku membalas tatapannya dengan tatapan yang lebih lekat hingga pada akhirnya aku memeluknya dalam tangis ku bersama dengan rasa sesak dadaku.
********
6 bulan berlalu setelah kejadian saat aku tanpa rasa malu megatakan bahwa aku masih mencintai laki-laki itu. Setelah aku mendapatkan nasehat dari Risa sahabatku, aku bertekad untuk berubah menajdi seorang muslimah seutuhnya yang berusaha untuk menajda izzah dan iffahnya. Seorang muslimah tangguh yang tak kan pernah kenal dengan cinta sebelum halal.
"Kapan nih nyusul aku?" tanya Risa menggodaku.
Aku tersenyum dan menjawab, "Ya kan kamu tahu sendiri belum ada yang datang menghampiriku."
Risa tertawa mendengar jawabanku.
"Nanti deh, aku minta tolong sama suamiku biar bantu kamu untuk menemukan imam impianmu," kata Risa kembali menggoda.
Aku hanya tersenyum dan tak menjawab.
"Gimana? Mau ga? Jangan cuma diem aja," kata Risa semakin menggoda dan menyenggol lenganku dengan lengannya.
Aku menghela nafas dan hanya mengangguk tanpa menjawab.
"Ciyeee, mukanya jadi berubah kayak tomat tuh," sindir Risa terlihat puas karena hari ini mampu membuatku malu.
"Apaan sih Ris, malu tau kedengeran sama tamu yang lain," kataku sambil menyembunyikan muka tomatku.
Risa malah semakin puas karena berhasil membuatku salah tingkah di depannya. Aku masih mengatur sikapku agar aku bisa kembali bersikap biasa.
Risa masih saja tertawa puas dan aku hanya bisa menatapnya sambil tanpa mengatakan apapun, aku menatapnya lekat dan terus mengucapkan rasa syukurku karena Allaah mengaruniakan seorang sahabat yang mampu menjadikan ku seperti ini.
Aku bahagia melihat kebahagiaanya atas pernihakannya hari ini, semoga aku akan bisa segera merasakan kebahagiaan yang Risa rasakan hari ini.
********
"Maafkan aku telah membuatku menunggu begitu lama tanpa memberikan kepastian. Bukan berarti aku tak ingin menghalalkanmu ketika itu, hanya saja aku sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk mempersiapkan pernikahan kita hari ini," jelasnya membuatku tak dapat berkata-kata.
Aku hanya terdiam menatap laki-laki yang saat ini telah menjadi suamiku.
"Jujur Zha, sebenarnya sejak kita dekat aku mulai menyimpan rasa cinta ini untukmu hanya saja aku sadar aku tak sempantas itu untuk menjadi imammu saat itu," ungkapnya terlihat menerawang jauh ke masa lalu.
Aku tersentak dengan apa yang dia katakan.
"Zha, tau kah kamu, aku sempat terluka dengan apa yang sempat kamu katakan dulu bahwa kamu ingin aku menjauh darimu. Itu membuatku hancur berkeping-keping karena saat itu hanya kamulah yang bisa dengan sangat baik mengerti aku, memahami aku, memberikan semangat kepadaku tanpa menyerah sebelum aku akhirnya kembali memilki semangat. Tapi apa dayaku, ketika itu kamu terlihat telah dewasa dan menjadi wanita yang lebih baik jadi aku putuskan untuk merelakanmu menjauh dariku," jelasnya kali ini panjang lebar.
Kali ini dadaku terasa sedikit sesak.
"Dan saat kita bertemu di pernikahan Rasya, aku merasa sangat jauh dari mu karena aku melihatmu menjadi seorang muslimah yang amat cantik dengan keanggunanmu. Namun setelah kamu mengatakan semuanya itu lah yang membuatku memberanikan diri melamarmu 1 bulan lalu," katanya akhirnya menatapku dengan penuh cinta.
Inilah cinta yang aku jaga dari sebuah kenistaan dan dosa, inilah cinta yang aku usahakan ridha Nya dan inilah cinta yang sebenarnya.
Cinta, tak pernah salah mencari tuannya dan cinta tak pernah salah dalam menemukan jalannya pulang selama cinta itu atas dasar mencari ridhaNya.
Ah indahnya cinta.