Jumat, 02 Oktober 2015

Ondel-Ondel

            Nyok kite nonton ondel-ondel.. Nyok!

            Nyok kite ngarak ondel-ondel.. Nyok!

            Ondel-ondel ada anaknya.

            Terdengar lagu tradisional ondel-ondel dari depan gang rumahku.

            “Ummi, itu ada apa kok ada suara orang nyanyi?” tanyaku polos.

            “Suara orang nyanyi? Mana nak?” kata Ummiku malah balik bertanya.
            “Itu lho Mi, itu,” kataku mencoba membuat Ummi untuk mendengarkan kembali suara yang memang masih sayup-sayup terdengar dari rumah kami.

            “Oh yang itu nak! Itu lagu ondel-ondel nak, berarti diluar ada yang lagi ngamen sama ondel-ondel.

            Aku hanya menatap Ummi ku dan memeperlihatkan wajah penasaranku. Saat itu usiaku masih 4 tahun dan saat itu aku baru pertama kalinya tinggal di Jakarta bersama Abah dan Ummi ku yang baru saja pindah.

            “Ondel-ondel Mi?” tanyaku penasaran.

            “Iya, ondel-ondel nak. Ondel-ondel itu boneka khas dari Jakarta nak,” jawab Ummiku menjelaskan.

            Aku masih belum bisa membayangkan ondel-ondel itu seperti apa.

            “Kalau kamu mau lihat? Boleh nak,” ujar Ummiku memberikan aku kesempatan untuk bisa melihat bagaimana ondel-ondel itu.

            Aku masih ragu untuk keluar rumah dan melihat yang namanya ondel-ondel. Ummiku sadar atas keraguan yang aku rasakan, Ummi menatapku lalu tersenyum.

            “Tidak apa-apa kok nak, lihat saja diluar. Ondel-ondelnya ada diujung gang sana. Dia lewat didepan gang,” ujar Ummiku meyakinkanku.

            “Ayo sama nenek, nenek antar,” ajak nenekku yang dari tadi mendengarkan percakapanku dengan Ummi.

            Aku masih saja belum yakin untuk melihatnya karena ini baru pertama kalinya aku tahu bahwa di Jakarta ada boneka tradisional. Nenekku ikut menatapku dan dia sadar aku masih berfikir.

            “Ayo, keburu nanti ondel-ondelnya pergi lho,” ajak nenekku yang juga sepertinya ingin melihat si ondel-ondel.

            “Tapi ondel-ondelnya tidak seram kan Mi?” tanyaku meyakinkan diriku sendiri.

            “TIdak kok nak, kamu pasti suka,” ujar Ummiku lembut dan tenang.

            “Iya deh. Ayo nek, kita lihat ke depan,” ajakku akhirnya mau untuk melihat seperti apa ondel-ondel itu.

            Aku berjalan dibelakang nenekku menyusuri gang rumahku, disepanjang jalan aku terus membayangkan bagaimana bentuk dari ondel-ondel itu.

            Plang dung plang dung plang

            Plak…plak….plak…..

            Gendang nyaring nyaring ditpepak

            Yang ngiringin nandak

            Pada surak-surak

            Nyanyian itu semakin keras terdengar, aku menjadi takut karena suara nyanyian itu semakin keras. Disaat aku mulai merasakan ketakutan ternyata aku sudah berada diujung gang rumahku dan ondel-ondel sudah terlihat dari gang tersebut meskipun masih aga jauh.

            Nenekku yang sudah beberapa kali melihat ondel-ondel tidak heran tapi masih merasa takjub dengan ondel-ondel sebagai maskot Jakarta. Aku yang penasaran mengintip dari balik baju nenekku yang berada tepat di depanku.

            Aku terkejut melihat bentuk dari ondel-ondel yang baru pertama kali aku lihat hari itu, besar sekali ondel-ondel itu dan dia berjalan seolah-olah dia akan terjatuh karena berjalan layaknya seseorang yang kehilangan keseimbangan. Tangannya pun tidak sperti tangan orang-ornag yang bisa bergerak seseuai keinginan, tangannya hanya seperti kain yang tak miliki tulang dan bergerak dari depan dan kebekalang tanpa arahan.

            Aku benar-benar terkejut dan ketakutan, aku menangis dan berlari pulang sendiri meninggalkan nenekku yang masih berada diujung gang untuk melihat ondel-ondel tadi.

            “Ummi! Ummi!” seruku sambil menangis dan berlari menuju Ummiku.

            Ummi terlihat bingung melihatku menangis.

            “Kamu kanapa nak? Kok menangis?” tanya Ummiku sambil meraih tumbuhku untuk dipeluk.

            “Hiks, hiks. Itu Mi, ondel-ondelnya besar sekali. Aku takut Mi, aku tidak mau lihat lagi,” kataku sesenggukan karena menangis.

            Ummiku tersenyum kecil.

            “Maaf ya nak, Ummi kira kamu akan suka dengan ondel-ondel itu. Ternyata kamu takut karena ondel-ondel itu terlalu besar ya,” ujar Ummiku meminta maaf sambil mengelus lembut punggungku.

            “Iya Mi,” aku masih menangis.

            “Tidak usah takut, ada Ummi disini. Lagipula ondel-ondelnya juga tidak akan kemari nak,” kata Ummiku menenangkanku.

            Aku mengangguk perlahan.

            “Lho, si Rafi kemana? Kok digang tidak ada?” tanya nenekku mencariku.

            Ummi tersenyum kepada nenekku sambil menepuk pundakku mengatakan bahwa aku ada dipelukkan Ummi.

            “Rafi takut dengan ondel-ondel Nek,” jawab Ummiku lembut.

            Nenekku tertawa mendengar itu.

            “Kenapa kamu tidak bilang, harusnya tadi kamu bilang sayang,” ujar nenekku sambil ikut mengusap lembut kepalaku.

            Aku hanya menggelengkkan kepala karena aku terlalu takut dengan ondel-ondel jadi aku memutuskan untuk segera berlari.

            “Tidak apa-apa nak, ondel-ondelnya sudah pergi kok,” ujar Ummiku kembali menenangkanku.

            Akhirnya aku memberanikan diri untuk melepaskan pelukan Ummiku.

            “Nanti temani aku ya Mi kalau ada ondel-ondel lagi,” pintaku masih merasa takut.

            Ummi mengangguk perlahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar