Nyok kite nonton
ondel-ondel.. Nyok!
Nyok kite ngarak ondel-ondel.. Nyok!
Ondel-ondel ada anaknya.
Terdengar lagu tradisional ondel-ondel dari depan gang
rumahku.
“Ummi, itu ada apa kok ada suara orang nyanyi?” tanyaku
polos.
“Suara orang nyanyi? Mana nak?” kata Ummiku malah balik
bertanya.
“Itu lho Mi, itu,” kataku mencoba membuat Ummi untuk mendengarkan kembali suara yang memang masih sayup-sayup terdengar dari rumah
kami.
“Oh yang itu nak! Itu lagu ondel-ondel nak, berarti
diluar ada yang lagi ngamen sama ondel-ondel.
Aku hanya menatap Ummi ku dan memeperlihatkan wajah
penasaranku. Saat itu usiaku masih 4 tahun dan saat itu aku baru pertama
kalinya tinggal di Jakarta bersama Abah dan Ummi ku yang baru saja pindah.
“Ondel-ondel Mi?” tanyaku penasaran.
“Iya, ondel-ondel nak. Ondel-ondel itu boneka khas dari
Jakarta nak,” jawab Ummiku menjelaskan.
Aku masih belum bisa membayangkan ondel-ondel itu seperti
apa.
“Kalau kamu mau lihat? Boleh nak,” ujar Ummiku memberikan
aku kesempatan untuk bisa melihat bagaimana ondel-ondel itu.
Aku masih ragu untuk keluar rumah dan melihat yang
namanya ondel-ondel. Ummiku sadar atas keraguan yang aku rasakan, Ummi
menatapku lalu tersenyum.
“Tidak apa-apa kok nak, lihat saja diluar. Ondel-ondelnya
ada diujung gang sana. Dia lewat didepan gang,” ujar Ummiku meyakinkanku.
“Ayo sama nenek, nenek antar,” ajak nenekku yang dari
tadi mendengarkan percakapanku dengan Ummi.
Aku masih saja belum yakin untuk melihatnya karena ini
baru pertama kalinya aku tahu bahwa di Jakarta ada boneka tradisional. Nenekku
ikut menatapku dan dia sadar aku masih berfikir.
“Ayo, keburu nanti ondel-ondelnya pergi lho,” ajak
nenekku yang juga sepertinya ingin melihat si ondel-ondel.
“Tapi ondel-ondelnya tidak seram kan Mi?” tanyaku
meyakinkan diriku sendiri.
“TIdak kok nak, kamu pasti suka,” ujar Ummiku lembut dan
tenang.
“Iya deh. Ayo nek, kita lihat ke depan,” ajakku akhirnya
mau untuk melihat seperti apa ondel-ondel itu.
Aku berjalan dibelakang nenekku menyusuri gang rumahku,
disepanjang jalan aku terus membayangkan bagaimana bentuk dari ondel-ondel itu.
Plang dung plang
dung plang
Plak…plak….plak…..
Gendang nyaring nyaring ditpepak
Yang ngiringin nandak
Pada surak-surak
Nyanyian itu semakin keras terdengar, aku menjadi takut
karena suara nyanyian itu semakin keras. Disaat aku mulai merasakan ketakutan
ternyata aku sudah berada diujung gang rumahku dan ondel-ondel sudah terlihat
dari gang tersebut meskipun masih aga jauh.
Nenekku yang sudah beberapa kali melihat ondel-ondel
tidak heran tapi masih merasa takjub dengan ondel-ondel sebagai maskot Jakarta.
Aku yang penasaran mengintip dari balik baju nenekku yang berada tepat di
depanku.
Aku terkejut melihat bentuk dari ondel-ondel yang baru
pertama kali aku lihat hari itu, besar sekali ondel-ondel itu dan dia berjalan
seolah-olah dia akan terjatuh karena berjalan layaknya seseorang yang
kehilangan keseimbangan. Tangannya pun tidak sperti tangan orang-ornag yang
bisa bergerak seseuai keinginan, tangannya hanya seperti kain yang tak miliki
tulang dan bergerak dari depan dan kebekalang tanpa arahan.
Aku benar-benar terkejut dan ketakutan, aku menangis dan
berlari pulang sendiri meninggalkan nenekku yang masih berada diujung gang
untuk melihat ondel-ondel tadi.
“Ummi! Ummi!” seruku sambil menangis dan berlari menuju
Ummiku.
Ummi terlihat bingung melihatku menangis.
“Kamu kanapa nak? Kok menangis?” tanya Ummiku sambil
meraih tumbuhku untuk dipeluk.
“Hiks, hiks. Itu Mi, ondel-ondelnya besar sekali. Aku
takut Mi, aku tidak mau lihat lagi,” kataku sesenggukan karena menangis.
Ummiku tersenyum kecil.
“Maaf ya nak, Ummi kira kamu akan suka dengan ondel-ondel
itu. Ternyata kamu takut karena ondel-ondel itu terlalu besar ya,” ujar Ummiku
meminta maaf sambil mengelus lembut punggungku.
“Iya Mi,” aku masih menangis.
“Tidak usah takut, ada Ummi disini. Lagipula
ondel-ondelnya juga tidak akan kemari nak,” kata Ummiku menenangkanku.
Aku mengangguk perlahan.
“Lho, si Rafi kemana? Kok digang tidak ada?” tanya
nenekku mencariku.
Ummi tersenyum kepada nenekku sambil menepuk pundakku
mengatakan bahwa aku ada dipelukkan Ummi.
“Rafi takut dengan ondel-ondel Nek,” jawab Ummiku lembut.
Nenekku tertawa mendengar itu.
“Kenapa kamu tidak bilang, harusnya tadi kamu bilang
sayang,” ujar nenekku sambil ikut mengusap lembut kepalaku.
Aku hanya menggelengkkan kepala karena aku terlalu takut
dengan ondel-ondel jadi aku memutuskan untuk segera berlari.
“Tidak apa-apa nak, ondel-ondelnya sudah pergi kok,” ujar
Ummiku kembali menenangkanku.
Akhirnya aku memberanikan diri untuk melepaskan pelukan
Ummiku.
“Nanti temani aku ya Mi kalau ada ondel-ondel lagi,”
pintaku masih merasa takut.
Ummi mengangguk perlahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar