"Nak! Lihatlah teman-temanmu
yang diusiamu sudah menikah bahkan sudah memiliki anak, lalu kamu kapan nak?
Jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan mu saja, kamu juga butuh teman hidup.
Usiamu sudah tidak muda lagi nak," ujar ibuku yang mulai khawatir karena
aku belum juga punya pasangan.
Aku menghela nafas panjang dan berusaha
tenang untuk menjawab pernyataan serta pertanyaan ibuku.
"Bu, bukan Izha tak ingin punya pasangan,
hanya saja Izha sedang memilih laki-laki yang benar-benar serius pada Izha karena
Izha tak ingin salah Bu. Bukankah Ibu juga ingin begitu? Agar Izha bisa bahagia
nantinya," jawabku perlahan berharap ibuku akan memahami keadaanku.
"Tapi bukan berarti kamu benar-benar
tidak memikirkan hal yang satu itu kan nak? Cobalah kamu dandan dan memperbaiki
penampilan agar ada lelaki yang tertarik sama kamu, ibu lihat kamu terlalu sibuk
dengan pekerjaanmu jadi kamu tidak sempat untuk merapikan penampilanmu
nak," ujar ibuku memberi saran yang lumayan membuatku kaget.
Aku kembali menarik nafas, kali ini
agak panjang. Aku tahu ibu tidak bermaksud untuk menyampaikan hal itu karena sebenarnya
telah banyak laki-laki yang menyukaiku dan ibuku tahu akan hal itu.
"Tentu saja Izha memikirkannya
Bu, namun Izha tidak ingin tergesa-gesa Bu dan mungkin belum waktunya untuk
Izha menikah Bu. Lagipula cinta itu tidak akan datang hanya karena penampilan,
Bu! Jika itu karena penampilan maka bagi Izha laki-laki itu hanya melihat Izha
dengan hawa nafsu belaka," ujarku berusaha tetap tenang.
"Iya, ibu mengerti
nak. Tapi Ibu lihat teman-teman kamu sudah punya pasangan semua dan tinggal
tunangan lalu menikah? Apa kamu tidak kepikiran untuk cari pacar sebelum memutuskan
untuk menikah? Biar kamu dan calonmu saling mengenal lebih jauh jadi kan tidak
akan salah pilih," desak ibuku agar aku segera fokus untuk hal yang satu
ini.
"Bu, pacaran itu tidak menjamin
kita akan menemukan seorang laki-laki yang tepat untuk dipilih. Bagi Izha,
pacaran itu sama saja dengan hubungan yang masih belum jelas akhirnya dan laki-laki
yang mengajak pacaran bukan laki-laki gentleman dan jauh dari rasa tanggung
jawab," jawabku berusaha memberikan pengertian pada ibuku.
Ibuku memandangku lekat tepat dikedua
bola mataku, dan dari sana terlihat ke khawatiran yang sangat.
"Ibu hanya ingin kamu menikah
diusia yang sewajarnya seorang anak perempuan menikah," ujar ibuku menunduk
pilu.
Aku merasakan kepiluan ibuku atas keadaanku.
'In syaa Allaah Izha akan menikah
sesuai usia normal perempuan untuk menikah Bu. Hanya saja mohon bersabar dulu
ya Bu, selain Izha ingin mendapatkan kebahagiaan Izha juga ingin berusaha untuk
mendapatkan kebahagiaan itu dengan cara yang baik menurut Allaah Ta'ala Bu.
Bukan Izha tidak ingin mengenal pasangan Izha sebelum menikah, tapi Izha rasa
pacaran bukan satu-satunya cara untuk bisa mengenal pasangan kita kan Bu?
Bahkan Ibu dan Ayah pun tidak pernah pacaran kan sebelum menikah? Izha ingin
menjaga diri Izha untuk pasangan Izha Bu, seperti halnya Ibu yang menjaga diri
Ibu untuk Ayah dulu," jelasku sambil menggenggam tangan ibuku lembut.
Ibu kembali mengangkat kepalanya dan
menatapku samb tersenyum dan mengangguk perlahan.
"Izha sebenarnya pun ingin
segera menikah Bu, namun bukan berarti harus tergesa-gesa kan Bu? Dalam
kesendirian ini, biarkan menjadi masa dimana nantinya Izha akan menemukan
sebuah cinta yang sempurna. Cinta sempurna yang akan selalu menjaga bukan menodainya
dengan kedok bernama pacaran. Biarkan cinta sempurna itu datang dari dia yang
akan menjaga Izha dengan meminta kepada Ayah dan Ibu untuk meminang Izha, bukan
dia yang datang pada Izha untuk menjalin hubungan pacaran yang bahkan kita tak
pernah tahu akhirnya seperti apa. Semua sudah diatur sebaik mungkin Bu oleh
Allaah Ta'ala dan semua akan indah pada saatnya," jelasku akhirnya mengukirkan
senyuman lebar dan kelegaan untuk ibuku.
"Bu, biarkan aku menemukan cinta
sempurnaku. Cinta sempurna yang datang dari Allaah Ta'alah melalui laki-laki
yang akan menjadi suami dan Imam dalam rumah tanggaku kelak," bisikku
dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar