Rabu, 30 September 2015

Melepasmu demi RidhaNya

Assalaamu'alaykum. Dek, kalau niat baik kita belum mendapat ridha dari orang tua kita, apa yang akan adek lakukan?

Sebuah pesan Whatsapp masuk ke ponselku, aku tersenyum karena pesan itu dikirimkan oleh bang Billah. Seorang ikhwan yang sedang berproses denganku, tanpa pikir panjang aku langsung membalas pesan itu.

Wa'alaykumussalam warahmatullaah bang. Niat apa dulu bang?

Aku sengaja untuk menjawab dengan singkat agar tidak membuat kita jadi berkhalwat nantinya.

Tentang niat baik kita dan tentang proses kita dek.

Aku menatap layar ponsel, jantungku terasa berhenti berdetak beberapa detik. Aku mencoba menenangkan diriku dan berusaha menata nafasku dengan menarik nafas panjang seraya merangkai kata untuk membalas pesan singkat tersebut.

Bang, jujur. Kalau sudah orang tua yang mengatakan tidak ana pun tidak akan bisa melakukan apa-apa kecuali menuruti apa kata mereka. Karena bukankah ridha Allaah Ta'ala ada pada ridha orang tua bang.

Balasku terlihat tenang meskipun sebenarnya dadaku amat sangat sesak. Padahal baru kemarin aku bisa berkomunikasi dengan bang Billah setelah proses ta'aruf kami jalani hingga bang Billah datang ke rumah untuk bersilaturahiim dan baru kemarin pula aku menjelaskan bagaimana keadaan keluargaku yang istimewa dan aku sudah merelakan apapun keputuasan bang Billah nantinya.

Iya dek, ane minta maaf sebelumnya. Ane juga tidak bisa berbuat apa-apa, ini juga berat buat ane. Namun ane berharap ini yang terbaik buat kita dek, meskipun ini terasa berat. Semoga Allaah akan menggantikan untuk kita pasangan yang dapat menghibur kita dan memberikan ketenangan untuk kita.

Kali ini balasan bang Billah agak panjang, aku benar-benar merasakan dadaku semakin sesak bahkan meskipun sudah menarik nafas yang begitu panjang namun sesak itu belum juga menghilang.

Aku tidak tahu harus membalas apa kepada bang Billah, ingin rasanya aku tidak membalas dan membiarkannya begitu saja tapi ternyata aku tidak bisa meskipun air bening dari mataku menetes menjatuhi pipiku.

Iya bang, mungkin ini adalah yang terbaik untuk kita. Apalagi menikah itu tidak hanya menyatukan dua orang tapi dua keluarga yang berbeda. Ana tidak tahu harus bicara apa lagi bang, ana hanya berharap semoga Allaah menetapkan kebaikkan didalamnya dan semoga niat baik abang untuk menikah segera terwujud bang. Barakallaah bang. ^^

Aku membalas sambil menahan sesak dadaku dan tetesan air mata yang semakin deras membasahi pipiku seperti hujan deras yang tak kunjung reda. Dia, adalah ikhwan pertama yang datang ke rumah untuk silaturahiim dengan niat serius untuk menikahi diriku. Dia adalah ikhwan pertama yang berproses denganku sampai sejauh ini.

Aku masih belum benar-benar percaya dengan apa yang baru saja aku alami, aku masih menangis sambil menatap semua pesan dari bang Billah. Ini semua benar-benar tak pernah aku bayangkan sebelumnya karena semua keluargaku merasa cocok dengan abang dan kami punya visi dan misi yang sama. Akupun berani menaruh harapan besar kepadanya, namun ternyata takdir berkata lain.

Aku tidak mungkin memaksakan agar proses ini berlanjut hingga ke pernikahan sedangkan orang tua bang Billah belum ridha, padahal ridha orang tua lah yang akan mengantarkan anaknya untuk menggapai ridha Allaah Ta'ala. Aku berusaha untuk mengikhaskan bang Billah demi ridha Allaah Ta'ala, mungkin ini adalah yang terbaik untuk kami saat ini.

Aku berpikir bahwa jika memang kami berjodoh pastilah kami akan bertemu lagi dan tentunya ridha Allaah Ta'ala akan mengantarkan kami untuk bisa bersama membangun rumah tangga yang bahagia dunia akhirat.

Aku berharap, ini semua akan menjadi pengalaman berharga untukku jika suatu hari nanti akan berproses lagi. Aku tidak akan mencintai siapapun sampai akad itu akan diucapkan oleh suamiku, dan aku akan selalu menjadikan Allaah Ta'ala Sang Pemberi Petunjuk untukku. Semoga dengan begitu cinta yang sesungguhnya akan datang meskipun aku harus menunggu hingga diujung jalanku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar