Sabtu, 17 Oktober 2015

Wahai Cinta

"Ingatlah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad. Jika ia rusak, maka rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati (jantung)” (HR. Bukhari no. 52 dan Muslim no. 1599).

Begitu pentingnya menjaga hati dari segala sesuatu yang dapat merusaknya dan yang sangat sering kita jumpai hal yang berkaitan dengan hati adalah masalah cinta, ya cinta.

Ketika seseorang telah merasakan cinta dalam hatinya, pasti mereka akan dengan bangga mengatakan bahwa mereka sedang jatuh cinta entah kepada siapa. Sedangkan hakikat mencintai yang sesungguhnya adalah memasrahkan cinta itu kepada Pemilik Sejatinya yaitu Allaah Ta'ala.

Bukan berarti kita tidak boleh mencintai seseorang, namun alangkah lebih indahnya ketika cinta yang kita berikan kepada orang lain adalah cinta yang berlandaskan atas kecintaan kita kepada Sang Pemilik Hidup.

Banyak sekali orang yang rela melakukan segala sesuatu demi membuat orang yang dicintai merasa senang, hingga mungkin kadang melupakan aturan Allaah Ta'ala yang sebenarnya dalam aturan itu Allaah Ta'ala sedang melindungi kita dari hal yang mungkin akan membuat kita merasa tidak nyaman atau bahkan merasa hampa tanpa kehadiranNya Ta'ala (Na'udzubillaah). Sungguh, sangat disayangkan jika kita hanya sekedar ingin membuat diri kita bahagia dengan cara kita memuliakan cinta yang tidak semestinya.

Andai setiap manusia mampu memahami hakikat sebuah cinta, pasti mereka akan berbondong-bondong untuk menghalalkan pasangannya atau menjaga orang yang dicintai dengan cara yang Allaah Ridhai.

Begitulah dahsyatnya cinta, yang mungkin membuat nalar kita melakukan hal biasa meskipun yang biasa belum tentu benar.

Sungguh, cinta Allaah Ta'ala adalah cinta yang sangat indah yang takkan pernah bisa kita lukiskan indahnya bahkan lebih indah dari kisah dua insan yang saling mencintai dan menikah tanpa ada aktivitas pacaran sebelumnya. Ya, cinta Allaah itu lebih dan lebih indah untuk dirasakan karena sekali kita merasakan cinta kepada Allaah Ta'ala, maka kita tidak akan pernah ingin membiarkan cinta itu pergi dari hidup kita.

Ketika kita sudah mencintai Allaah Ta'ala, bukan hal mustahil untuk mencintai hambaNya dengan mudah dan kita pun akan merasakan kebahagiaan yang hakiki atas cinta kita kepada Allaah Ta'ala.

Mencintai bukanlah hal yang sulit untuk dilakukan, namun memurnikan cinta tersebut hanya kerena Allaah Ta'ala semata itulah yang membutuhkan perjuangan.

Semoga Allaah Ta'ala akan senantiasa memberikan kita cinta yang berlandaskan atas cinta kita kepadaNya Ta'ala.
Aamiin Ya Rabbal'aalamiin.

Senin, 05 Oktober 2015

Dari Sebuah Ujian Kita Belajar

"Bagaimana kabarmu Ara?" tanya seseorang yang baru saja menelponku.
"Aku rasa tidak begitu baik," jawabku lemas.

"Kau kenapa Ra? Ada apa?" tanyanya lagi.

"Biasalah Fin," jawabku malas.

"Ada apa lagi denganmu?" tanya belum juga puas.

"Apa aku harus bercerita semuanya Fin?" kali ini aku bertanya, bukan menjawab.

Aku merasa dadaku sesak saat ini, benar-benar sesak hingga membuat air mataku tiba-tiba saja menetes tanpa izin.

"Sudah, tidak usah kau ceritakan. Aku rasa keadaan saat ini sedang membuatmu merasa sedih, kapan kita bisa bertemu?" tanyanya kembali.

"Lusa aku ada dirumah, kemarilah sekalian menenamiku dirumah," jawabku masih malas.

Aku segera menghapus air mata di pipiku yang sempat terjatuh tadi.

"OK! Baiklah, lusa aku akan kesana," katanya sigap lalu segera menutup telponnya.

Dia adalah sahabat baik sekaligus sahabat spiritualku, semua yang aku rasakan tidak pernah dia lewatkan satu halpun, Dia adalah satu-satunya yang mengerti keadaanku yang penuh dengan kekurangan ini. Dia adalah Fina.
******

"Tenanglah Ara, semua pasti ada hikmahnya. Allaah tidak mungkin memberikan semua ini tanpa alasan Ra. Lagipula Allaah Tahu bahwa kamu mampu untuk melewatinya Ra," ungkap Fina sambil mengelus lembut pungungku yang sedang menangis dipelukannya.

"Fin, boleh ga aku iri sama orang lain? Orang lain yang lebih bahagia dari aku?" tanyaku pada Fina dengan tangisanku.

"Ra, mana kita tahu orang yang bahagia itu benar-benar bahagia. Mungkin saja beban yang dia pikul lebih berat dari bebanmu tapi dia tidak pernah mengeluh jadi yang kamu lihat hanya kebahagiaanya," kata Fina berusaha membesarkan hatiku.

Aku masih menangis.

"Ra, seseorang yang beriman itu pasti akan mendapatkan ujian di dunia ini. Jadi jangan merasa Allaah tidak sayang padamu, justru dengan ini semua Allaah ingin mengatakan bahwa Allaah begitu menyayangimu Ra dan Allaah tidak akan menguji hambaNya melebihi kemampuan hambaNya Ra," kata Fina kali ini agak panjang.

"Berarti aku mampu melewati ini semua ya Fin?" tanyaku masih terisak.

"Pasti mampu Ra, pasti mampu," jawab Fina mantap.

Aku melepaskan pelukann Fina dan menatapnya lekat, aku seperti mendapat kekuatan dari belaian lembut tangannya dan tatapan hangat matanya.
******

"Ara!!!!" seru seseorang memanggilku.

Aku segera menengok kearahnya dan tersenyum senang.

"Ada apa sih?" tanyaku pada temanku yang tadi memanggilku.

"Kamu ini setipa hari semangat banget kuliah Ra, sampe-sampe aku harus mengejarmu sejauh ini," katanya ngos-ngosan setelah berlari menghampiriku.

Aku hanya tersenyum kecil menatap teman satu jurusanku ini.

"Ya harus semangat dong Rin, kan biar kita dapat banyak manfa'at atas ilmu yang kita pelajari Rin," jawabku masih dengan senyum.

"Aku heran padamu, sudah tahu jadwal kuliah kita super duper padat, tapi kok kamu ga da capek-capeknya dan kamu juga ga terlihat terbebani dengan semua tugas dari dosen kita," ungkapnya keheranan.

"Kamu ini Rin, bisa aja kalau ngomong. Semua ini harus kita jalani sebaik mungkin karena ini kesempatan yang mungkin ada membuat kita belajar menjadi seorang yang lebih baik. Bahkan semua resiko dan beban yang kita dapatkan itu adalah cara agar kita bisa belajar dan terus belajar," kataku sok bijak.

Padahal, Rina tak pernah tahu bagaimana keadaanku yang sebenarnya dengan semua ujian yang membuatku harus terus belajar dan belajar. Ujian yang tak jarang membuatku sering meneteskan air mata di depan orang-orang yang sangat aku percaya. Ujian yang lambat laun akan membautku semakin dewasa dan ujian yang suatu hari nanti akan membuatku bersyukur atasnya.

Mereka hanya tau bahagiaku tanpa tahu perjuangan ku untuk melawan keterpurukan ku ketika aku merasa beban ku terasa berat. Mereka hanya tau senyuman bahagiaku tanpa mereka tahu bahwa sebelumnya aku menangis semalaman hingga mungkin membuat mataku sembam.

Namun, aku selalu ingat kata-kata kakakku, "Dek, bersikaplah seolah-olah kita tidak memiliki masalah."

Dan itulah yang aku selalu lakukan agar terlihat bahagia, karena ujian ini tidak lain tak tidak bukan untuk memberikan sebuah pelajaran penting agar kita menjadi insan yang lebih baik dimataNya.

Jumat, 02 Oktober 2015

Ondel-Ondel

            Nyok kite nonton ondel-ondel.. Nyok!

            Nyok kite ngarak ondel-ondel.. Nyok!

            Ondel-ondel ada anaknya.

            Terdengar lagu tradisional ondel-ondel dari depan gang rumahku.

            “Ummi, itu ada apa kok ada suara orang nyanyi?” tanyaku polos.

            “Suara orang nyanyi? Mana nak?” kata Ummiku malah balik bertanya.
            “Itu lho Mi, itu,” kataku mencoba membuat Ummi untuk mendengarkan kembali suara yang memang masih sayup-sayup terdengar dari rumah kami.

            “Oh yang itu nak! Itu lagu ondel-ondel nak, berarti diluar ada yang lagi ngamen sama ondel-ondel.

            Aku hanya menatap Ummi ku dan memeperlihatkan wajah penasaranku. Saat itu usiaku masih 4 tahun dan saat itu aku baru pertama kalinya tinggal di Jakarta bersama Abah dan Ummi ku yang baru saja pindah.

            “Ondel-ondel Mi?” tanyaku penasaran.

            “Iya, ondel-ondel nak. Ondel-ondel itu boneka khas dari Jakarta nak,” jawab Ummiku menjelaskan.

            Aku masih belum bisa membayangkan ondel-ondel itu seperti apa.

            “Kalau kamu mau lihat? Boleh nak,” ujar Ummiku memberikan aku kesempatan untuk bisa melihat bagaimana ondel-ondel itu.

            Aku masih ragu untuk keluar rumah dan melihat yang namanya ondel-ondel. Ummiku sadar atas keraguan yang aku rasakan, Ummi menatapku lalu tersenyum.

            “Tidak apa-apa kok nak, lihat saja diluar. Ondel-ondelnya ada diujung gang sana. Dia lewat didepan gang,” ujar Ummiku meyakinkanku.

            “Ayo sama nenek, nenek antar,” ajak nenekku yang dari tadi mendengarkan percakapanku dengan Ummi.

            Aku masih saja belum yakin untuk melihatnya karena ini baru pertama kalinya aku tahu bahwa di Jakarta ada boneka tradisional. Nenekku ikut menatapku dan dia sadar aku masih berfikir.

            “Ayo, keburu nanti ondel-ondelnya pergi lho,” ajak nenekku yang juga sepertinya ingin melihat si ondel-ondel.

            “Tapi ondel-ondelnya tidak seram kan Mi?” tanyaku meyakinkan diriku sendiri.

            “TIdak kok nak, kamu pasti suka,” ujar Ummiku lembut dan tenang.

            “Iya deh. Ayo nek, kita lihat ke depan,” ajakku akhirnya mau untuk melihat seperti apa ondel-ondel itu.

            Aku berjalan dibelakang nenekku menyusuri gang rumahku, disepanjang jalan aku terus membayangkan bagaimana bentuk dari ondel-ondel itu.

            Plang dung plang dung plang

            Plak…plak….plak…..

            Gendang nyaring nyaring ditpepak

            Yang ngiringin nandak

            Pada surak-surak

            Nyanyian itu semakin keras terdengar, aku menjadi takut karena suara nyanyian itu semakin keras. Disaat aku mulai merasakan ketakutan ternyata aku sudah berada diujung gang rumahku dan ondel-ondel sudah terlihat dari gang tersebut meskipun masih aga jauh.

            Nenekku yang sudah beberapa kali melihat ondel-ondel tidak heran tapi masih merasa takjub dengan ondel-ondel sebagai maskot Jakarta. Aku yang penasaran mengintip dari balik baju nenekku yang berada tepat di depanku.

            Aku terkejut melihat bentuk dari ondel-ondel yang baru pertama kali aku lihat hari itu, besar sekali ondel-ondel itu dan dia berjalan seolah-olah dia akan terjatuh karena berjalan layaknya seseorang yang kehilangan keseimbangan. Tangannya pun tidak sperti tangan orang-ornag yang bisa bergerak seseuai keinginan, tangannya hanya seperti kain yang tak miliki tulang dan bergerak dari depan dan kebekalang tanpa arahan.

            Aku benar-benar terkejut dan ketakutan, aku menangis dan berlari pulang sendiri meninggalkan nenekku yang masih berada diujung gang untuk melihat ondel-ondel tadi.

            “Ummi! Ummi!” seruku sambil menangis dan berlari menuju Ummiku.

            Ummi terlihat bingung melihatku menangis.

            “Kamu kanapa nak? Kok menangis?” tanya Ummiku sambil meraih tumbuhku untuk dipeluk.

            “Hiks, hiks. Itu Mi, ondel-ondelnya besar sekali. Aku takut Mi, aku tidak mau lihat lagi,” kataku sesenggukan karena menangis.

            Ummiku tersenyum kecil.

            “Maaf ya nak, Ummi kira kamu akan suka dengan ondel-ondel itu. Ternyata kamu takut karena ondel-ondel itu terlalu besar ya,” ujar Ummiku meminta maaf sambil mengelus lembut punggungku.

            “Iya Mi,” aku masih menangis.

            “Tidak usah takut, ada Ummi disini. Lagipula ondel-ondelnya juga tidak akan kemari nak,” kata Ummiku menenangkanku.

            Aku mengangguk perlahan.

            “Lho, si Rafi kemana? Kok digang tidak ada?” tanya nenekku mencariku.

            Ummi tersenyum kepada nenekku sambil menepuk pundakku mengatakan bahwa aku ada dipelukkan Ummi.

            “Rafi takut dengan ondel-ondel Nek,” jawab Ummiku lembut.

            Nenekku tertawa mendengar itu.

            “Kenapa kamu tidak bilang, harusnya tadi kamu bilang sayang,” ujar nenekku sambil ikut mengusap lembut kepalaku.

            Aku hanya menggelengkkan kepala karena aku terlalu takut dengan ondel-ondel jadi aku memutuskan untuk segera berlari.

            “Tidak apa-apa nak, ondel-ondelnya sudah pergi kok,” ujar Ummiku kembali menenangkanku.

            Akhirnya aku memberanikan diri untuk melepaskan pelukan Ummiku.

            “Nanti temani aku ya Mi kalau ada ondel-ondel lagi,” pintaku masih merasa takut.

            Ummi mengangguk perlahan.

Cinta Sempurna


"Nak! Lihatlah teman-temanmu yang diusiamu sudah menikah bahkan sudah memiliki anak, lalu kamu kapan nak? Jangan terlalu sibuk dengan pekerjaan mu saja, kamu juga butuh teman hidup. Usiamu sudah tidak muda lagi nak," ujar ibuku yang mulai khawatir karena aku belum juga punya pasangan.

Aku menghela nafas panjang dan berusaha tenang untuk menjawab pernyataan serta pertanyaan ibuku.

"Bu, bukan Izha tak ingin punya pasangan, hanya saja Izha sedang memilih laki-laki yang benar-benar serius pada Izha karena Izha tak ingin salah Bu. Bukankah Ibu juga ingin begitu? Agar Izha bisa bahagia nantinya," jawabku perlahan berharap ibuku akan memahami keadaanku.

"Tapi bukan berarti kamu benar-benar tidak memikirkan hal yang satu itu kan nak? Cobalah kamu dandan dan memperbaiki penampilan agar ada lelaki yang tertarik sama kamu, ibu lihat kamu terlalu sibuk dengan pekerjaanmu jadi kamu tidak sempat untuk merapikan penampilanmu nak," ujar ibuku memberi saran yang lumayan membuatku kaget.

Aku kembali menarik nafas, kali ini agak panjang. Aku tahu ibu tidak bermaksud untuk menyampaikan hal itu karena sebenarnya telah banyak laki-laki yang menyukaiku dan ibuku tahu akan hal itu.

"Tentu saja Izha memikirkannya Bu, namun Izha tidak ingin tergesa-gesa Bu dan mungkin belum waktunya untuk Izha menikah Bu. Lagipula cinta itu tidak akan datang hanya karena penampilan, Bu! Jika itu karena penampilan maka bagi Izha laki-laki itu hanya melihat Izha dengan hawa nafsu belaka," ujarku berusaha tetap tenang.

"Iya, ibu mengerti nak. Tapi Ibu lihat teman-teman kamu sudah punya pasangan semua dan tinggal tunangan lalu menikah? Apa kamu tidak kepikiran untuk cari pacar sebelum memutuskan untuk menikah? Biar kamu dan calonmu saling mengenal lebih jauh jadi kan tidak akan salah pilih," desak ibuku agar aku segera fokus untuk hal yang satu ini.

"Bu, pacaran itu tidak menjamin kita akan menemukan seorang laki-laki yang tepat untuk dipilih. Bagi Izha, pacaran itu sama saja dengan hubungan yang masih belum jelas akhirnya dan laki-laki yang mengajak pacaran bukan laki-laki gentleman dan jauh dari rasa tanggung jawab," jawabku berusaha memberikan pengertian pada ibuku.

Ibuku memandangku lekat tepat dikedua bola mataku, dan dari sana terlihat ke khawatiran yang sangat.

"Ibu hanya ingin kamu menikah diusia yang sewajarnya seorang anak perempuan menikah," ujar ibuku menunduk pilu.

Aku merasakan kepiluan ibuku atas keadaanku.

'In syaa Allaah Izha akan menikah sesuai usia normal perempuan untuk menikah Bu. Hanya saja mohon bersabar dulu ya Bu, selain Izha ingin mendapatkan kebahagiaan Izha juga ingin berusaha untuk mendapatkan kebahagiaan itu dengan cara yang baik menurut Allaah Ta'ala Bu. Bukan Izha tidak ingin mengenal pasangan Izha sebelum menikah, tapi Izha rasa pacaran bukan satu-satunya cara untuk bisa mengenal pasangan kita kan Bu? Bahkan Ibu dan Ayah pun tidak pernah pacaran kan sebelum menikah? Izha ingin menjaga diri Izha untuk pasangan Izha Bu, seperti halnya Ibu yang menjaga diri Ibu untuk Ayah dulu," jelasku sambil menggenggam tangan ibuku lembut.

Ibu kembali mengangkat kepalanya dan menatapku samb tersenyum dan mengangguk perlahan.

"Izha sebenarnya pun ingin segera menikah Bu, namun bukan berarti harus tergesa-gesa kan Bu? Dalam kesendirian ini, biarkan menjadi masa dimana nantinya Izha akan menemukan sebuah cinta yang sempurna. Cinta sempurna yang akan selalu menjaga bukan menodainya dengan kedok bernama pacaran. Biarkan cinta sempurna itu datang dari dia yang akan menjaga Izha dengan meminta kepada Ayah dan Ibu untuk meminang Izha, bukan dia yang datang pada Izha untuk menjalin hubungan pacaran yang bahkan kita tak pernah tahu akhirnya seperti apa. Semua sudah diatur sebaik mungkin Bu oleh Allaah Ta'ala dan semua akan indah pada saatnya," jelasku akhirnya mengukirkan senyuman lebar dan kelegaan untuk ibuku.

"Bu, biarkan aku menemukan cinta sempurnaku. Cinta sempurna yang datang dari Allaah Ta'alah melalui laki-laki yang akan menjadi suami dan Imam dalam rumah tanggaku kelak," bisikku dalam hati.